Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama


Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama - Sederet pertanyaan dan kekhawatiranpun muncul. Nikah diusia remaja, mungkinkah? Siapkah mental dan materinya? Bagaimana respon masyarakat? Apa tidak mengganggu sekolah? Dan masih banyak sederet pertanyaan lainnya.

Dari sisi psikologis, memang wajar kalau banyak yang merasa khawatir. Bahwa pernikahan di usia muda akan menghambat studi atau rentan konflik yang berujung perceraian, karena kekurangsiapan mental dari kedua pasangan yang masih belum dewasa betul. Hal ini terbaca jelas dalam senetron “Pernikahan Dini” yang pernah ditayangkan di salah satu stasiun televisi. Beralasan memang, bahwa mental dan kedewasaan lebih berarti dari sekedar materi, untuk menciptakan sebuah rumah tangga yang sakinah seperti yang diilustrasikan oleh sinetron tersebut.

Jika menurut psikologis (Pernikahan Dini Dalam Perspektif Psikologi), usia terbaik untuk menikah adalah usia antara 19 sampai 25, maka bagaimana dengan agama? Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mencapai ba’ah, maka kawinlah. Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual)”. (HR. Imam yang lima).

Hadits di atas dengan jelas dialamatkan kepada syabab (pemuda). Siapakah syabab itu? Mengapa kepada syabab? Menurut mayoritas ulama, syabab adalah orang yang telah mencap aqil baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Aqil baligh bisa ditandai dengan mimpi basah (ihtilam) atau masturbasi (haid bagi wanita) atau telah mencapai usia limabelas tahun.

Ada apa dengan syabab? Sebelumnya, menarik diperhatikan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam; “perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh tahun dan pisahkan tempat tidurnya”. (Ahmad dan Abu Dawud).


Pesan Nabi di atas, selain bermakna sebagai pendidikan bagi anak juga menyimpan sebuah isyarat bahwa pada usia sepuluh tahun, seorang anak telah memiliki potensi menuju kematangan seksual. Sebuah isyarat dari Nabi SAW, Sembilan belas Abad yang silam. Kini, dengan kemajuan teknologi yang kian canggih, media informasi (baik cetak atau elektronik) yang terus menyajikan tantangan seksual bagi kaum remaja, maka tak heran apabila sering terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak ingusan yang masih di bangku sekolah dasar.

Karenanya, Sahabat Abdullah bin Mas’ud ra, selalu membangun orientasi menikah kepada para pemuda yang masih single dengan mengajak mereka berdoa agar segera diberi isteri yang shalihah.

Salah satu faktor dominan yang sering membuat kita terkadang takut melangkah adalah kesiapan dari sisi ekonomi. Ini memang wajar. Tapi sebagai hamba yang beriman. Bukankah Allah telah menjamin rezeki hamba-Nya yang mau menikah, seperti yang tersirat dalam suratal-Nur ayat 32 yang artinya, “dan jika mereka miskin maka Allah akan membuatnya kaya dengan karunia-Nya”. Bukankah Rasul-Nya juga menjamin kita dengan sabdanya, “Barang siapa yang ingin kaya, maka kawinlah.

2 Responses to "Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama"

  1. Saya termasuk yang nikah muda, tapi alhamdulillah lancar

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah kalau gitu :)
      Btw tips biar cepat nikah itu gimana ya? Hehehe

      Semoga keluarganya selalu di lindungi Allah, amien.

      Delete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel