Ketika Agama dan Atheis Kompak


Ketika Agama dan Atheis Kompak - Naluri itu ada, tetapi realita hidup tidak sekedar naluri. Kita tidak selalu makan saja, kawin saja, menyingkirkan orang lain saja. Terkadang kita berbuat yang tidak menguntungkan diri kita secara ego, hingga kita membuat karya yang rumit dan dianggap bernilai.

Atheisme dan agama memiliki kesamaan dalam hal pembahasan naluri, termasuk kosmologi bahwa kehidupan ini suram (gelap), karena manusia itu binatang (yang berakal), manusia itu (pelaku) jahat karena nalurinya. Dan tujuan hidup hanya makan, seks, dan menyingkirkan yang lain.

Mungkin kita rasakan demikian benar adanya, tetapi kita juga mengalami realitas selain demikian. Dunia ini bisa keluar dari perang karena kita (manusia) juga peduli dengan selain perkara (naluri) tadi, sehingga manusia sedia betindak membuat urusan-urusan yang dianggap bernilai baik sebagai kelajutan dari gagasan tentang naluri saja.

Dalam hal ini agama lebih baik dari atheisme. Agama sedia mengkonsepkan tindakan baik meski internal umatnya saja, tetapi tidak dengan atheisme. Atheisme cenderung menganggap bahwa naluri itu menjadi final pemahaman secara umum, dan dengan demikian pula kebaikan atau moral dianggap omong kosong karena termasuk menipu diri, tidak jujur, dsb.

Pembahasan seperti ini terkait dengan evolusi. Kalaupun betul manusia itu berevelusi hingga menjadi sapiens hingga era ini dengan naluri yang tetap sama dengan homo homo yang sebelumnya sapiens memiliki citra yang lebih baik, dan terbukti memiliki akal-budi dan kemajuan tingkat lanjut.

Membuat retorika dengan perkara ilmiah bahwa manusia itu (sepenuhnya) negatif ini bisa menjadi bibit politik yang negatif pula. Dan ini sudah terbukti dengan ajaran Islam-Khilafah dengan segala keberingasannya. Apakah atheisme akan mengikuti jejak mereka?, semoga anak-anak atheis militan gengsi dengan martabat atheis mereka. Coba ingat pula tokoh-tokoh biadab sepanjang sejarah, Hitler, Stalin, dst. Mereka hanya peduli dengan gagasan filsafat yang membabi buta saja, tanpa melihat dengan sudut pandang yang beragam.

Pembahasan idea dan aplikasi memang bebas bisa bagaimana saja, akan tetapi kalau tidak dicermati akan bisa sangat berbahaya, terlebih contoh dalam sejarah sudah ada.

Bagaimana bila ada orang berkata kepada anda: "Jujur aku akan membunuhmu dengan pedang ini" sedangkan dia sudah menghunus pedang, apakah anda akan menilai kejujurannya atau berpikir melakukan tindakan yang bisa menyelamatkan anda?

Saya pikir dengan contoh ilustrasi sederhana diatas kenapa orang benci atheisme dan komunisme yang memang terkait dengan athiesme-sosialisme.

Kesibukan seseorang entah beragama atau atheis dengan egonya, artinya mereka tidak pernah berpikir tentang tanggung-jawab, karena hanya mengejar ambisi mengontrol orang lain dan kesenangan-kesenangan yang ada di dalamnya. Itulah yang mereka sebut sebagai kekuasaan dan kemenangan.

Bagi seorang yang menganut paham esoteris tanggung-jawab itu penting, meski hal itu adalah perkara terberat dalam kehidupan.

Namun mungkin anda boleh mencoba tindakan yang anti tanggung-jawab, yang naluriah misalnya, makan lalu kawin, lalu menyingkirkan saingan sebagai jalan mempertahankan hidup. Lalu betina anda melahirkan, kemudian betina dan bayi itu anda campakkan karena memberi makan dan mengurus dua orang itu menyusahkan anda. Kemudian anda berkata Akulah Sang Atheis atau Akulah wakil Tuhan. Tentu saja dunia ini akan sangat kacau karena tidak ada tanggung-jawab.

Ini pula sebabnya kenapa di wilayah yang banyak Islamisme kekacauan pasti semakin dahsyat, karena mereka enggan bertanggung-jawab yang penting menyebarluaskan ajaran (dakwah) saja dengan praktiknya yang brutal membawa disharmoni dalam kehidupan.

Nyawa itu tidak penting, yang penting adalah gagasan. Tentu saja karena jiwa itu tidak ada.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel